Rabu, 18 Maret 2015

Maafkan Aku yang Tidak Sempurna

MAAFKAN AKU SUAMIKU
Suamiku, aku memang tak pandai memasak, tak pintar merajut dan tak bisa menahan amarah. Namun aku selalu mencoba untuk belajar dan belajar.
Suamiku, aku pun seorang yang sangat mencintai kejujuran, menyayangi kesetiaan dan menghormati keterbatasan. Aku tak sempurna suamiku, tapi aku menjanjikan kesetiaan dan cinta yang tulus sejak kau menjadi imamku, dan aku akan menjaga janji itu segenap jiwaku.
Suamiku, aku pencemburu yang gila, namun kututupi semua itu dengan sebuah peti kepercayaan. Aku pemarah yang hebat namun kubalut semua itu dengan sebuah kemasan keceriaan.
Suamiku, saat peti itu kau rusak dan kemasan itu kau sobek, aku dikelilingi keadaan kalut, aku rapuh, aku sakit dan aku jatuh dalam keterpurukan, aku merasa gagal menjadi istri, aku merasa sempurna menjadi cacat dalam percintaan ini.
Suamiku, maafkan aku atas semua tanyaku, aku sering menanyakan semua kegiatan dan aktifitasmu, aku sering bertanya sedang apa dan dimana dirimu, aku selalu mengganggumu dengan semua pertanyaan-pertanyaanku. Bukan aku curiga suamiku, semua karena aku terlalu mengkhawatirkan keadaanmu dan selalu merindukan pulangmu.
Suamiku, maafkan aku yang selalu bergelanyut manja saat kau pulang kerja, aku ingin merasakan sentuhan kulitmu atau sekedar memeluk tubuh letihmu. Sedangkan kau letih dan tak mau diganggu, aku baru menyadarinya suamiku, sejak kau jarang menyentuhku kecuali kau memang ingin, dan sering membelakangiku saat tidur di kala aku ingin hanya sekedar membelai wajahmu. Karena itu suamiku, aku akan berusaha mengurangi manjaku. Aku akan berusaha tidak menggodamu bila bukan kau yang mulai. Aku sering membiarkanmu bermain koputer sendiri agar aku tak mengganggumu lagi. Namun aku akan selalu ada jika kau butuh aku suamiku.
Suamiku, saat kau pergi untuk sebuah keperluan dan harus pulang malam, maafkan aku bila aku sering marah dengan wajah masam dan dinginku, namun taukah kau suamiku, aku bukan curiga atau mengekang. Aku marah karena kau selalu telat mengabariku tentang dimana dirimu. Aku marah karena kadang kau berjanji akan pergi denganku namun tak memberi kabar, atau aku marah karena kadang kau akan bertemu orang namun tak jujur dengan siapa. Maafkan aku suamiku, aku diam saat kau pulang, aku tak bicara seolah kau merasa aku sesuka hatiku, tapi taukah kau suamiku, aku marah agar kau tak dengar amarahku yg membuatmu tambah lelah. Aku diam agar marahku reda dan tak mengeluarkan kata-kata yg membuatmu marah, benarkan sayang? Malah kau yang memarahiku suamiku...katamu aku sesuka hatiku, katamu aku tak mau mengerti aktifitasmu. Aku sedih suamiku dengan semua tuduhanmu. Aku memilih diam dan aku tau itu membuatmu kesal. Aku mungkin memang salah tapi aku selalu mencoba mengerti. Dari nada bicaramu, aku tetaplah salah, aku tetaplah istri yang tak pengertian dan sesuka hati hingga kau harus sabar dan kuat menghadapiku.
Suamiku, maafkan lagi aku, aku memang bodoh. Aku mohon suamiku, jangan berfikiran yang tidak-tidak tentangku, ini semua kulakukan karena perasaanmu yang kau ungkapkan. Kau tak harus bersabar padaku, tak harus kuat menghadapi tingkahku, aku memang salah, benci saja aku dan akupun akan siap menjauh darimu.
Suamiku, aku mencintaimu lebih dari yang kau tau
Suamiku, aku menyanjungmu melebihi hidupku
Suamiku, maaf atas ego,pertanyaan dan tingkahku
Suamiku, bahagiakan dirimu dan jangan memaksakan mengatakan kau ingin melihat ku baghagia, karena kau butuh bahagia juga.
Bila kebahagiaan tak datang saat kau tak mendengar suaraku maka akulah kebahagiannmu, namun bila kebahagiaan datang saat ketiadaanku maka carilah kebahagiaan itu suamiku.
Aku ikhlas. Karena aku mencintaimu suamiku....

Kamis, 05 Maret 2015

Sakitnya Tuh Disini

Aku di sini, duduk terdiam bersama puing-puing perihku. Sakit ku mengingat masa-masa sebelum kau berubah. Dulu, kau memberiku sebuah senyuman yang belum pernah ku dapatkan sebelumnya. Rasa itu terukir dalam dengan indah. Tapi tak ku sangka, rasa cinta dan sayang yang selama ini kau beri hanyalah kebahagiaan yang semu. Kau mengagungkan sesuatu yang kau sebut cinta dengan topengmu, yang dibaliknya tersembunyi seribu bilah pisau yang siap menyerangku dan menusuk jantungku kapan saja. Atas nama cinta, kau bersandiwara di depanku. Atas nama Allah, kau bersandiwara di depan keluargaku. Astaghfirullah...

Saat kau bercerita tentang peran baikmu dalam sandiwara yang berbeda. Begitu lihai kau merangkai kata dan mengucap janji manis yang sangat indah terdengar. Awalnya aku bisa mengabaikan semua rayuan manismu, tapi kau memang takmau menyerah. Bagaimanapun juga aku seorang wanita yang selalu terbawa perasaan, akhirnya hatiku luluh saat kau berkata “Kaulah pelabuhan cinta terakhirku…” hingga akhirnya "Akad" itupun terucap dari bibirmu didepan semua orang...

waktu terasa berjalan begitu cepat hingga membuatku terjatuh dan tak sadarkan diri lagi. Bodoh aku yang percaya dengan semua sikap dan ucapanmu. Kau membuatku berkorban hanya untuk dirimu. Diam-diam kau menusukku dari belakang dengan belati dibalik topengmu yang terukir indah. Kata-kata cinta yang kau beri racun, membuatku tidak menyadari sakit yang begitu dalam.

Apa kau masih menjunjung tinggi "janji sebuah akad" yang pernah kau berikan untukku? Janji bahwa kau takkan pernah meninggalkanku.

Mengapa hati ini masih menyimpan kenangan-kenangan indah itu? Setiap detik di sisimu terekam jelas dan tersimpan indah di sudut hati kecilku. Tapi semua itu hanyalah sandiwaramu, kau adalah seorang pemain yang memiliki seribu topeng dan beribu tipu muslihat untuk mendapatkan apa yang kau mau.

Kau menikahiku dengan bualanmu untuk menjadikanku permainan. Setelah kau mendapatkan kesenangan yang kau cari, dan kau bosan denga permainan itu, kau membuangku dan menganggapku tak pernah ada dalam hidupmu. Entah apa yang membuatmu melakukan semua itu. Apa rasa sakit dan kecewamu terhadap orangtuamu yang pernah kau ceritakan itu yang membuatmu tak punya perasaan lagi seperti ini? Atau memang inilah dirimu yang sebenarnya?

Seharusnya aku mendengar apa kata mereka dulu, tapi aku terlalu angkuh dengan perasaan itu. Ya…hatiku terlalu meninggikanmu karena terlalu mudah aku terbuai oleh setiap katamu. Salah ku memberimu kesempatan untuk bermain api dibelakangku. Sekarang aku hanya bisa menyesali kepolosanku berhadapan dengan orang sepertimu.
Tapi apa gunanya rasa sesal itu? Aku telah tersakiti, perih yang sangat dalam dan aku harus membuang perasaan yang dulu kubanggakan. Aku malu dengan diriku.

Tak ada lagi kata yang bisa menggambarkan rasa sakitku yang begitu dalam. Kini ku merasa, kau adalah orang terjahat yang pernah ku temui selama hidupku.

#Januari2015#